Bebicara tentang tingkat akhir, akan ada banyak cerita dan
persepsi. Tak akan luput dari penelitian, seminar, skripsi dan ujian akhir.
Sehingga tak jarang para mahasiswa dan mahasiswi diberbagai universitas
mengidap penyakit baru yang kerap disebut dengan STA-G (Syndrom Tugas Akhir –
Galau). Sebenarnya bukan penyakit ini yang ditakuti melainkan persepsi dan cara
menerima dari setiap orangnya lah yang harus dibentuk dengan baik. Tugas akhir
seolah-olah menjadi momok bagi sebagian kalangan mahasiswa, namun ada juga yang
menjadikan tugas akhir sebagai teman belajarnya dalam aplikasi dilapangan. Dari
beberapa orang teman yang sempat dimintai keterangan mengenai tugas akhir ada
yang berpendapat bahwa tugas akhir itu :
“Memusingkan, rumit, mumet. Tapi harus dikerjakan dengan
ikhlas, tidak perlu terburu-buru yang penting hasilnya sempurna.” (venni)
“Gak tau harus berkata apa tentang skripsi, speechless.”
(silvi)
“Cuma ditingkat akhir sesuatu yang tidak dibayangkan bisa
terjadi.(yudia)
“Tingkat akhir merupakan pembelajaran hidup di dunia nyata,
penelitian merupakan prosesnya dan skripsi hanyalah syarat untuk menerima
ijazah” (hagia).
“Tak perlu dipersulit, jalani, resapi, nikmati dan terimalah
hasilnya” (nia).
“Tugas akhir sama dengan hama, tak dapat dibasmi hanya dapat
dicegah apa yang menjadi rintangannya” (vey).
“Tugas akhir itu bagaikan pestisida, membunuh secara
perlahan” (roy).
“Tugas akhir mampu membuat seseorang mandiri, apa-apa serba dilakukan
sendiri” (icha).
Ya seperti ini lah komentar-komentar tugas akhir dimata
sebagian kalangan mahasiswa. Apapun tugas akhir itu ternyata dapat memberikan
dampak positif bagi yang bisa memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh, namun
juga dapat merubah pribadi seseorang jika salah menanggapinya. Kali ini aku
hadir dengan cerita sejuta umat, lebih tepatnya kisah kasih mahasiswa tingkat
akhir bersama penelitian dan skripsinya. Aku juga bingung mesti memulainya dari
mana. Karena saat ini aku masih menyandang gelar mahasiswi tingkat akhir.
Siang itu, aku
berjalan menuju laboratorium tempat ku melakukan penelitian guna menyelesaikan
tugas akhirku, disetiap sudut yang kulalui, tampak beragam aktivitas dan
tingkah laku mahasiswa, membuatku tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada
satu hal yang menarik perhatianku, di tengah taman tak jauh dari laboratorium
tempatku meneliti, terlihat seorang gadis tengah duduk dibangku dan meja batu,
taman ini memang kerap kali dipenuhi mahasiswa untuk bersantai sejenak guna
melepas penat ditengah kesibukan dan padatnya jadwal kuliah. Dengan kerudung
warna hitam, seraya memakai kardigan merah hati beserta tas gemblok yang
bergambar detektif conan, seolah cukup untuk mencirikan bahwa sosok yang tengah
duduk dibangku yang terbuat dari batu tersebut adalah seorang Naina. Ya dialah
Naina sahabatku, gadis berparas ayu ini adalah mahasiswi Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian di IPB. Jika dirunut lagi lebih tepatnya dia adalah
mahasiswa tingkat akhir yang akan segera lulus. Sedikit menggambarkan sosok
seorang Naina, dia gadis yang periang, ramah, memiliki banyak teman baik
dilingkungan kampus maupun diluar kampus. Sifat dia yang senang berceloteh ini
membuat dia dikenal banyak orang, tak hanya itu dia juga pemilik tawa yang khas
dan suara cempreng, bahkan dia tidak kenal dengan kata malu. Prinsip dia “jika kita
malu maka kita akan semakin tidak tahu apa yang akan dituju”, itulah yang
menyebabkan kakak kelas dan adik kelasnyapun tak heran jika melihat tingkah
Naina. Begitupun aku.
Kembali pada sosok yang kini tengah duduk dibangku batu itu,
dari kejauhan dapat terlihat jelas itu adalah Naina, akan tetapi Naina kali ini
agak sedikit berbeda, dia terlihat tak seperti biasanya. Tak tampak sedikitpun
senyum menghiasi bibirnya, pandangan matanyapun
sendu, seolah menyiratkan duka yang amat mendalam. Apa yang terjadi naina?. Tak
ingin beribu pertanyaan itu memenuhi isi kepalaku, segera aku menghampiri sosok
itu, dan duduk mengambil posisi berhadapan dengannya. Sontak saja Naina
tersadar dari lamunannya, dengan senyum yang sedikit dipaksa dia menyapaku, “hai
by”.
Menanggapi Naina yang seperti itu, akupun tak bisa menahan
diri lagi. Ku beranikan diri untuk bertanya langsung kepadanya.
“ada apa sih Na? Kenapa kamu tiba-tiba diam seribu bahasa,
rasanya kampus tak lengkap tanpa suara cemprengmu itu.
“lebay kamu by, biasa aja, yang ada kampus rubuh kalau
mendengar suaraku, jadi lebih baik aku diam, buktinya kan tidak berpengaruh
nyata pada taraf 5% kalau aku berkomentar, betul kan by. Aku hanya butiran debu
by”.
Mendengar jawaban Naina, awalnya aku tersenyum kecil, empat
jempol akan ku berikan pada lawakan basinya. Naina memang jago membuat orang
tersenyum. Akan tetapi dibalik jawabannya itu tersirat makna bahwa dia sedang
dalam kesulitan.
“kenapa Na, ceritalah jika aku orang yang pantas untuk
mendengarnya”.
Mata Naina mengarah pada sekumpulan tanaman cabai yang masih
dalam tahap penyemaian. Lirih dia berkata “andai bibit itu bisa merasakan
pekikan batinku by”, lalu pandangannya dialihkan ke pohon jambu yang berada tak
jauh dari kami. Naina melanjutkan ucapannya, “dan andai aku seperti pohon jambu
ini, berdiri kokoh, meneduhi apapun yang berada dibawahnya, kehadirannya di
inginkan banyak orang, selalu berbuah dimusimnya, meskipun ada banyak ulat yang
menggerogoti daun-daunnya, pohon jambu ini tetap mampu bertahan. Namun sayang
aku hanyalah Naina yang lemah, bukan pohon jambu ataupun bibit cabai.”
“maksudmu apa sih Na, aku tidak bisa memahaminya”
“ya seperti yang ku duga by, enkaupun tak bisa merasakannya.
Ini masalahku, ini duniaku”.
“berbagilah dengan temanmu ini Na, jika memang kau tak
sekuat pohon jambu ini”.
Setengah berteriak Nainapun berucap, “aku benci penelitian
by, aku lelah, aku merasa dikejar-kejar waktu, sekarang aku sudah berada di
tingkat paling akhir by. Aku enggan berada di laboratorium ini, aku tak nyaman dengan
orang-orang disini. Sepertinya aku salah jurusan by. Sementara sudah banyak
teman-teman seangkatan kita yang telah lulus. Lalu aku bagaimana. Penelitianku
gagal berkali-kali. Dosenku juga susah diajak kompromi. Aku bingung, takut dan
aku galau tingkat dewa by. Bayangkan saja galau tingkat dewa by, bukan lagi
galaunya rakyat jelata.
Sontak aku terdiam, apa yang harus aku perbuat, haruskah aku
memberikan nasehat kepadanya, haruskah aku membantunya memecahkan masalah ini,
atau aku harus menghiburnya pada saat ini juga. Super sekali, seisi kampus
sudah tahu kalau aku ini juga mahasiswa tingkat akhir, dan juga merasakan naik
turunnya semangat dalam melakukan penelitian demi terlahirnya skripsi sebagai
syarat kelulusan nantinya. Tidak hanya itu sepenjuru kampus juga sekiranya tahu
akupun belum menyelesaikannya. Tak mau berlama-lama, dengan mengarahkan semua
kemampuanku, aku akhirnya memilih sedikit berbagi pemikiran dengannya, sedikit
menyemangati Naina.
“Na, yang pertama
harus kamu ingat bahwa skripsi atau tugas akhir itu adalah suatu kewajiban yang
mau tidak mau, suka ataupun tidak harus dijalankan, karena itu merupakan syarat
kelulusanmu nantinya. Tanpa adanya tugas akhir, itu berarti kamu menghambat
langkahmu untuk lebih maju lagi. Terlepas dari bagaimana cara yang kamu lalui,
tugas akhirmu harus dikerjakan. Jalani saja, semua pasti berlalu.
Tugas akhir itu bukanlah momok yang harus ditakuti,
melainkan suatu pembelajaran berharga yang harus lebih ditekuni. Di dalamnya
terdapat beragam aplikasi dan banyak faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan
maupun kekurangannya. Percayalah segala sesuatu yang dilakukan dengan baik akan
kelihatan hasilnya. Disini dituntut kegigihan dan kesabaran dalam mengerjakan
prosesnya bukan langsung pada hasil utama.
Untuk masalah dosen, aku rasa dosen
juga punya hati Na, tak ada satupun dosen yang mau memperlama mahasiswa apa
lagi memperumit suatu masalah. Bukan dosennya yang sulit berkompromi, melainkan
komunikasinya saja mungkin yang belum tepat pada sasarannya. Datangi dosenmu,
jangan takut, ungkapkan apa yang menjadi kendalamu, aku yakin dosenmu akan
memahami jika kamu sudah melakukan dengan sungguh-sungguh dan beliau pasti akan
mencarikan ataupun memberikan solusi yang terbaik untukmu. Jangan pernah takut
menhadapi dosen, karena dia lah yang akan menjadi pembelamu nantinya.
Yang terakhir, jangan banyak mempertimbangkan Na, terkadang
disitulah letak kesalahan yang banyak diperbuat oleh orang dewasa, terlalu
banyak tahu dan selalu penuh pertimbangan. Berlakulah kamu seolah tidak tahu,
justru karena tidak tahu itu akhirnya kamu mau tahu dan berusaha untuk
memperoleh jawabannya. Itulah penelitian Na, dari yang awalnya kamu tidak tahu
maka menjadi tahu pemecahannya. Jangan dipupuk pertimbanganmu pada orang
disekitar, karena itu akan menghambat perjalananmu untuk menjadi lebih tahu.
Apa kamu lupa bahwa prinsipmu tak kenal malu, jadi mengapa kamu harus malu
masih berada ditingkat akhir Na. Slow but sure Na.
Naina hanya terdiam,
akupun tak dapat berkata lebih lagi, karena permasalahan yang ada pada setiap
orang tidaklah sama, dan cara mengatasinya juga berbeda.
Akupun semakin menyadari, dimasa-masa seperti yang dialami
Naina sangatlah dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi serta motivasi yang
besar, agar tidak terpuruk dalam kegagalan. Selain itu kegalauan yang tidak
terorganisir ini ternyata dapat berpengaruh pada pribadinya, yang tadinya
sangat ceria, penuh semangat bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi
gadis yang pendiam, seolah tak ada gairah dalam hidup, lebih tertutup dan
menjauh dari lingkungan sekitar.
Pertemuan dengan Naina yang tampa disengaja tersebut dapat
juga menjadi pukulan keras bagiku untuk tidak berleha-leha menghabiskan waktu
dengan berdiam diri didalam kamar, menonton film terbaru dibioskop,
menghabiskan uang dengan makanan enak, atau bahkan bergosip ria hingga lupa
waktu. Sentilan kecil melalui kisah orang lain juga mampu menyadarkanku akan
betapa berartinya waktu dalam menentukan kualitas hidup kita. Dalam
melaksanakannya dibutuhkan banyak pengorbanan, tidak hanya pengorbanan materi,
fisik ataupun mental melainkan harus siap mengorbankan perasaan.
Entah angin dari mana, tak lama setelah Naina bercerita
kepadaku tentang masalahnya, tiba-tiba ponselnya berdering, subhanallah sekali
ternyata dia mendapat telepon dari dosennya, dan sepertinya itu kabar gembira.
Terlihat dari air muka Naina yang tadinya pucat tak bercahaya kini merona
dihiasi senyuman manis, bahkan matanya berbinar-binar. Naina memelukku sambil
berkata terimaksih sahabat, doaku didengar, dan yang lebih pasti lagi ternyata
tugas akhir ini memang akan indah pada waktunya. Sembari semakin jauhnya
bayangan Naina dari hadapanku, aku pun bergumam dalam hati, selamat sobat,
sukses untuk langkahmu. Kini waktumu sudah akan menghampiri, lalu bagaimana
dengan waktuku sendiri, akankah aku terus berlari hingga garis finish itu tepat
berada dibawah telapak kakiku. Ya ternyata tugas akhir itu akan indah pada
waktunya, dan kitalah yang menentukan kapan waktu itu akan tiba dan menjadi milik
kita. Akupun berlalu mengejar tugasku.