Archive for April 2013

T-A INDAH PADA WAKTUNYA


.

Bebicara tentang tingkat akhir, akan ada banyak cerita dan persepsi. Tak akan luput dari penelitian, seminar, skripsi dan ujian akhir. Sehingga tak jarang para mahasiswa dan mahasiswi diberbagai universitas mengidap penyakit baru yang kerap disebut dengan STA-G (Syndrom Tugas Akhir – Galau). Sebenarnya bukan penyakit ini yang ditakuti melainkan persepsi dan cara menerima dari setiap orangnya lah yang harus dibentuk dengan baik. Tugas akhir seolah-olah menjadi momok bagi sebagian kalangan mahasiswa, namun ada juga yang menjadikan tugas akhir sebagai teman belajarnya dalam aplikasi dilapangan. Dari beberapa orang teman yang sempat dimintai keterangan mengenai tugas akhir ada yang berpendapat bahwa tugas akhir itu :
“Memusingkan, rumit, mumet. Tapi harus dikerjakan dengan ikhlas, tidak perlu terburu-buru yang penting hasilnya sempurna.” (venni)
“Gak tau harus berkata apa tentang skripsi, speechless.” (silvi)
“Cuma ditingkat akhir sesuatu yang tidak dibayangkan bisa terjadi.(yudia)
“Tingkat akhir merupakan pembelajaran hidup di dunia nyata, penelitian merupakan prosesnya dan skripsi hanyalah syarat untuk menerima ijazah” (hagia).
“Tak perlu dipersulit, jalani, resapi, nikmati dan terimalah hasilnya” (nia).
“Tugas akhir sama dengan hama, tak dapat dibasmi hanya dapat dicegah apa yang menjadi rintangannya” (vey).
“Tugas akhir itu bagaikan pestisida, membunuh secara perlahan” (roy).
“Tugas akhir mampu membuat seseorang mandiri, apa-apa serba dilakukan sendiri” (icha).
Ya seperti ini lah komentar-komentar tugas akhir dimata sebagian kalangan mahasiswa. Apapun tugas akhir itu ternyata dapat memberikan dampak positif bagi yang bisa memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh, namun juga dapat merubah pribadi seseorang jika salah menanggapinya. Kali ini aku hadir dengan cerita sejuta umat, lebih tepatnya kisah kasih mahasiswa tingkat akhir bersama penelitian dan skripsinya. Aku juga bingung mesti memulainya dari mana. Karena saat ini aku masih menyandang gelar mahasiswi tingkat akhir.
Siang itu,  aku berjalan menuju laboratorium tempat ku melakukan penelitian guna menyelesaikan tugas akhirku, disetiap sudut yang kulalui, tampak beragam aktivitas dan tingkah laku mahasiswa, membuatku tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada satu hal yang menarik perhatianku, di tengah taman tak jauh dari laboratorium tempatku meneliti, terlihat seorang gadis tengah duduk dibangku dan meja batu, taman ini memang kerap kali dipenuhi mahasiswa untuk bersantai sejenak guna melepas penat ditengah kesibukan dan padatnya jadwal kuliah. Dengan kerudung warna hitam, seraya memakai kardigan merah hati beserta tas gemblok yang bergambar detektif conan, seolah cukup untuk mencirikan bahwa sosok yang tengah duduk dibangku yang terbuat dari batu tersebut adalah seorang Naina. Ya dialah Naina sahabatku, gadis berparas ayu ini adalah mahasiswi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian di IPB. Jika dirunut lagi lebih tepatnya dia adalah mahasiswa tingkat akhir yang akan segera lulus. Sedikit menggambarkan sosok seorang Naina, dia gadis yang periang, ramah, memiliki banyak teman baik dilingkungan kampus maupun diluar kampus. Sifat dia yang senang berceloteh ini membuat dia dikenal banyak orang, tak hanya itu dia juga pemilik tawa yang khas dan suara cempreng, bahkan dia tidak  kenal dengan kata malu. Prinsip dia “jika kita malu maka kita akan semakin tidak tahu apa yang akan dituju”, itulah yang menyebabkan kakak kelas dan adik kelasnyapun tak heran jika melihat tingkah Naina. Begitupun aku.
Kembali pada sosok yang kini tengah duduk dibangku batu itu, dari kejauhan dapat terlihat jelas itu adalah Naina, akan tetapi Naina kali ini agak sedikit berbeda, dia terlihat tak seperti biasanya. Tak tampak sedikitpun senyum menghiasi bibirnya, pandangan  matanyapun sendu, seolah menyiratkan duka yang amat mendalam. Apa yang terjadi naina?. Tak ingin beribu pertanyaan itu memenuhi isi kepalaku, segera aku menghampiri sosok itu, dan duduk mengambil posisi berhadapan dengannya. Sontak saja Naina tersadar dari lamunannya, dengan senyum yang sedikit dipaksa dia menyapaku, “hai by”.
Menanggapi Naina yang seperti itu, akupun tak bisa menahan diri lagi. Ku beranikan diri untuk bertanya langsung kepadanya.
“ada apa sih Na? Kenapa kamu tiba-tiba diam seribu bahasa, rasanya kampus tak lengkap tanpa suara cemprengmu itu.
“lebay kamu by, biasa aja, yang ada kampus rubuh kalau mendengar suaraku, jadi lebih baik aku diam, buktinya kan tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% kalau aku berkomentar, betul kan by. Aku hanya butiran debu by”.
Mendengar jawaban Naina, awalnya aku tersenyum kecil, empat jempol akan ku berikan pada lawakan basinya. Naina memang jago membuat orang tersenyum. Akan tetapi dibalik jawabannya itu tersirat makna bahwa dia sedang dalam kesulitan.
“kenapa Na, ceritalah jika aku orang yang pantas untuk mendengarnya”.
Mata Naina mengarah pada sekumpulan tanaman cabai yang masih dalam tahap penyemaian. Lirih dia berkata “andai bibit itu bisa merasakan pekikan batinku by”, lalu pandangannya dialihkan ke pohon jambu yang berada tak jauh dari kami. Naina melanjutkan ucapannya, “dan andai aku seperti pohon jambu ini, berdiri kokoh, meneduhi apapun yang berada dibawahnya, kehadirannya di inginkan banyak orang, selalu berbuah dimusimnya, meskipun ada banyak ulat yang menggerogoti daun-daunnya, pohon jambu ini tetap mampu bertahan. Namun sayang aku hanyalah Naina yang lemah, bukan pohon jambu ataupun bibit cabai.”
“maksudmu apa sih Na, aku tidak bisa memahaminya”
“ya seperti yang ku duga by, enkaupun tak bisa merasakannya. Ini masalahku, ini duniaku”.
“berbagilah dengan temanmu ini Na, jika memang kau tak sekuat pohon jambu ini”.
Setengah berteriak Nainapun berucap, “aku benci penelitian by, aku lelah, aku merasa dikejar-kejar waktu, sekarang aku sudah berada di tingkat paling akhir by. Aku enggan berada di laboratorium ini, aku tak nyaman dengan orang-orang disini. Sepertinya aku salah jurusan by. Sementara sudah banyak teman-teman seangkatan kita yang telah lulus. Lalu aku bagaimana. Penelitianku gagal berkali-kali. Dosenku juga susah diajak kompromi. Aku bingung, takut dan aku galau tingkat dewa by. Bayangkan saja galau tingkat dewa by, bukan lagi galaunya rakyat jelata.
Sontak aku terdiam, apa yang harus aku perbuat, haruskah aku memberikan nasehat kepadanya, haruskah aku membantunya memecahkan masalah ini, atau aku harus menghiburnya pada saat ini juga. Super sekali, seisi kampus sudah tahu kalau aku ini juga mahasiswa tingkat akhir, dan juga merasakan naik turunnya semangat dalam melakukan penelitian demi terlahirnya skripsi sebagai syarat kelulusan nantinya. Tidak hanya itu sepenjuru kampus juga sekiranya tahu akupun belum menyelesaikannya. Tak mau berlama-lama, dengan mengarahkan semua kemampuanku, aku akhirnya memilih sedikit berbagi pemikiran dengannya, sedikit menyemangati Naina.
 “Na, yang pertama harus kamu ingat bahwa skripsi atau tugas akhir itu adalah suatu kewajiban yang mau tidak mau, suka ataupun tidak harus dijalankan, karena itu merupakan syarat kelulusanmu nantinya. Tanpa adanya tugas akhir, itu berarti kamu menghambat langkahmu untuk lebih maju lagi. Terlepas dari bagaimana cara yang kamu lalui, tugas akhirmu harus dikerjakan. Jalani saja, semua pasti berlalu.
Tugas akhir itu bukanlah momok yang harus ditakuti, melainkan suatu pembelajaran berharga yang harus lebih ditekuni. Di dalamnya terdapat beragam aplikasi dan banyak faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan maupun kekurangannya. Percayalah segala sesuatu yang dilakukan dengan baik akan kelihatan hasilnya. Disini dituntut kegigihan dan kesabaran dalam mengerjakan prosesnya bukan langsung pada hasil utama.
            Untuk masalah dosen, aku rasa dosen juga punya hati Na, tak ada satupun dosen yang mau memperlama mahasiswa apa lagi memperumit suatu masalah. Bukan dosennya yang sulit berkompromi, melainkan komunikasinya saja mungkin yang belum tepat pada sasarannya. Datangi dosenmu, jangan takut, ungkapkan apa yang menjadi kendalamu, aku yakin dosenmu akan memahami jika kamu sudah melakukan dengan sungguh-sungguh dan beliau pasti akan mencarikan ataupun memberikan solusi yang terbaik untukmu. Jangan pernah takut menhadapi dosen, karena dia lah yang akan menjadi pembelamu nantinya.
Yang terakhir, jangan banyak mempertimbangkan Na, terkadang disitulah letak kesalahan yang banyak diperbuat oleh orang dewasa, terlalu banyak tahu dan selalu penuh pertimbangan. Berlakulah kamu seolah tidak tahu, justru karena tidak tahu itu akhirnya kamu mau tahu dan berusaha untuk memperoleh jawabannya. Itulah penelitian Na, dari yang awalnya kamu tidak tahu maka menjadi tahu pemecahannya. Jangan dipupuk pertimbanganmu pada orang disekitar, karena itu akan menghambat perjalananmu untuk menjadi lebih tahu. Apa kamu lupa bahwa prinsipmu tak kenal malu, jadi mengapa kamu harus malu masih berada ditingkat akhir Na. Slow but sure Na.
 Naina hanya terdiam, akupun tak dapat berkata lebih lagi, karena permasalahan yang ada pada setiap orang tidaklah sama, dan cara mengatasinya juga berbeda.
Akupun semakin menyadari, dimasa-masa seperti yang dialami Naina sangatlah dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi serta motivasi yang besar, agar tidak terpuruk dalam kegagalan. Selain itu kegalauan yang tidak terorganisir ini ternyata dapat berpengaruh pada pribadinya, yang tadinya sangat ceria, penuh semangat bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi gadis yang pendiam, seolah tak ada gairah dalam hidup, lebih tertutup dan menjauh dari lingkungan sekitar.
Pertemuan dengan Naina yang tampa disengaja tersebut dapat juga menjadi pukulan keras bagiku untuk tidak berleha-leha menghabiskan waktu dengan berdiam diri didalam kamar, menonton film terbaru dibioskop, menghabiskan uang dengan makanan enak, atau bahkan bergosip ria hingga lupa waktu. Sentilan kecil melalui kisah orang lain juga mampu menyadarkanku akan betapa berartinya waktu dalam menentukan kualitas hidup kita. Dalam melaksanakannya dibutuhkan banyak pengorbanan, tidak hanya pengorbanan materi, fisik ataupun mental melainkan harus siap mengorbankan perasaan.
Entah angin dari mana, tak lama setelah Naina bercerita kepadaku tentang masalahnya, tiba-tiba ponselnya berdering, subhanallah sekali ternyata dia mendapat telepon dari dosennya, dan sepertinya itu kabar gembira. Terlihat dari air muka Naina yang tadinya pucat tak bercahaya kini merona dihiasi senyuman manis, bahkan matanya berbinar-binar. Naina memelukku sambil berkata terimaksih sahabat, doaku didengar, dan yang lebih pasti lagi ternyata tugas akhir ini memang akan indah pada waktunya. Sembari semakin jauhnya bayangan Naina dari hadapanku, aku pun bergumam dalam hati, selamat sobat, sukses untuk langkahmu. Kini waktumu sudah akan menghampiri, lalu bagaimana dengan waktuku sendiri, akankah aku terus berlari hingga garis finish itu tepat berada dibawah telapak kakiku. Ya ternyata tugas akhir itu akan indah pada waktunya, dan kitalah yang menentukan kapan waktu itu akan tiba dan menjadi milik kita. Akupun berlalu mengejar tugasku.



Tarik


.


Tarik
Menarik
Ditarik
semua berasal dari kata tarik
lega bila menarik nafas
gantung bila tarik ulur
lalu sakit bila ditarik

heiii pengembala di tepi sana
apa kau pernah ditarik sapi gembalamu
bagaimana rasanya
apakah kau marah
menangis
atau bahkan malah tertawa?

heiii nelayan yang tak pernah lelah
apa pernah perahumu ditarik sang penguasa laut
lantas seperti apa reaksimu
apa kau takut
akankah kau tinggalkan pekerjaanmu?

Lagi-lagi ditarik
ditarik tarik




Akut


.


Ku tulis dibatu bercadas
Kala riak tak berombak
Angin ribut berkabut
Akut
Akut
Ku lari kehutan belukar
Semak penuh duri
Walau sakit tak terperi
Ku datangi gurun gersang
Terik menggigit
Ku tercekik
Rasa ingin menghempas badai
Menantang biru lautan lepas
Ku kini berdiri
Penuh lumpur tadi pagi
Aku tak bisa lagi
Disini dengan penuh percaya diri